CIN(T)A

Hari ini menyempatkan diri menghadiri undangan dari Banjar Film yang sedang mengadakan Jakarta International Film Festival (JIFFEST) Travelling yang diadakan di beberapa kota seperti Medan, Padang, Solo, Malang dan bulan ini tiba di Banjarmasin, bertempat di aula palimasan, Kantor Banjarmasin Post, acaranya sendiri sudah berlangsung sejak hari jumat, tapi berhubung satu dan lain hal (sok sibuk wakakakaka…), baru bisa menyempatkan diri hadir hari ini hehe…

Ada sebuah film menarik yang sepertinya saya sarankan untuk ditonton, walaupun film ini indie tapi mudah-mudahan temen-temen di banjar film punya copynya, saya sendiri ga sempat buat ngopi tu film.

Tema film ini mungkin untuk kalangan masyarakat banjar “agak” nyeleneh karena bertemakan tentang agama dan ketuhanan.. hmmm..bakalan berat kayanya isi ni film..weittss tapi nanti dulu sang sutradara sammaria simanjuntak membuat film yang “berat” di tema menjadi sebuah film yang enak buat dinikmati terutama buat kalangan anak muda yang sedang dalam proses penemuan jati diri…wehehhe…gaya ya…

Film ini sendiri sebenarnya sudah di launching pada tahun 2009, di National Film Theater, South Bank, Belvedere Rd, Greater London, Jumat 29 Mei 2009..woow..keren kan film asli anak negeri tapi di launching di inggris.. dua jempol deh.. dan diputar di Indonesia hanya di blitzmegaplex Jakarta, dan roadshow yang salah satunya datang ke banjarmasin, ga sia-sia saya dateng hehe..

Saya kasih synopsisnya dikit ya..mudah-mudahn terbantu mencerna film ini hehe….

” Why would God create us differently if God only wants to be worshiped in one way “

Annisa dan Cina (cina ini adalah sebuah nama lho hehe…) adalah dua insan manusia yang jika bisa diandaikan seperti langit dan bumi karena perbedaan mencolok yang mereka miliki. Anissa (Saira Jihan) adalah Muslim-Jawa cantik yang juga berprofesi sebagai seorang artis sekaligus mahasiswa jurusan arsitek tingkat akhir yang bisa dibilang kurang pintar karena sudah 3 kali ini ia selalu gagal dalam tugas akhirnya. Sedangkan Cina (Sunny Soon) adalah seorang pemuda Kristen keturunan Tionghoa-Batak yang dengan hanya bermodal otaknya yang encer memberanikan diri berangkat jauh-jauh dari tanah batak, Tapanuli untuk menimba ilmu di sebagai mahasiswa aristek di kota Bandung.

Berawal dari sebuah kejadian yang tidak disengaja Cina dan Annisa pun bertemu yang kemudian berujung dengan tawaran Cina untuk membantu Annisa dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Seperti pepatah kuno orang Jawa, “Witing Trisno Jalaran Soko Kulino”, benih cinta pun mulai tumbuh dalam diri dua anak manusia ini. Yang menjadi pertanyaan terbesar tentunya apakah kekuatan cinta mereka berdua cukup besar untuk dapat meruntuhkan tembok besar bernama ‘perbedaan’??

Senang rasanya dapat menyaksikan cin(T)a, salah satu dari sedikit film karya anak bangsa yang bermutu. Ya dengan semangat indienya, cin(T)a menyelinap ditengah gempuran film Indonesia yang berbiaya berkali kali lipat namun menyedihkan dalam hal cerita dan penggarapan. Sebagai sebuah film drama romantis yang menceritakan sepasang insan remaja yang sedang kasmaran, sepintas film yang disutradarai oleh Sammaria Simanjuntak ini terlihat biasa saja, namun mejadi sesuatu yang luar biasa ketika tema umum itu dibungkus dengan sebuah ‘selimut’ bernama Agama dan menjadikan Tuhan sebagai ‘cinta ketiga’ diantara hubungan mereka.

Dengan caranya yang kreatif sutradara berusia 25 tahun ini mecoba memberikan gambaran kecil dari sebuah masalah perbedaan besar yang sudah sejak lama menjadi ‘rahasia umum’ di seluruh dunia, sebuah perbedaan yang sering menjadi alasan terbesar umat manusia untuk berperang dan membunuh satu sama lain sejak jaman dulu. Pertanyaan tentang apakah kekuatan cinta dapat mengatasi segala perbedaan dan pertanyaan tentang eksistensi Tuhan dan Agama itu pun dijawab dengan manis oleh film berdurasi 79 menit ini melalui dialognya yang cerdas, kritis, lucu walaupun masih terkesan menggurui penontonnya. Ya, dialog2 menjadi salah satu ‘senjata’ utama cin(T)a selain tema “sensitif” nya itu sendiri dan jangan lupakan juga masih ada sinematografinya yang terbilang cantik untuk ukuran film low budget seperti ini.

Semua kisah cinta ini diperlihatkan melalui sudut pandang dua karakter utamanya dimana hampir keseluruhan film hanya milik mereka berdua. Baik Saira Jihan maupun Sunny Soon tampil lumayan untuk ukuran pemain amatiran, jadi wajar sajalah jika penampilan mereka tidak seluwes aktor mapun aktris dengan jam terbang tinggi, setidaknya kekuatan cerita dan dialognya mampu menutupi kekurangan kecil tersebut. Banyak yang tidak menyukai ending film ini, namun bagi gw ending seperti itulah yang memang layak sebagai penutup, sebuah ending realistis yang tidak menjual mimpi yang muluk, sebuah ending yang sempurna dari sebuah film Indonesia yang berani dan berkualitas.

“cinta itu bukan jatuh tapi justru sebuah kebangunan, jadi tidak ada penaklukan disana tapi kesetaraan yang harusnya terus dibangun”

Banjarbaru, 7 Juni 2010
01.01 Wita